Komisi IX Fokus Perkuat Sistem Kesehatan Nasional yang Strategis dan Inklusif
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh saat audiensi dengan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024). Foto : Azka/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menegaskan komitmen parlemen untuk memperkuat sistem kesehatan nasional melalui pendekatan yang strategis dan inklusif. Meskipun revisi Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) belum menjadi prioritas jangka pendek, ia memastikan bahwa isu ini tetap menjadi agenda penting dalam pembahasan legislatif di masa mendatang.
Pernyataan ini disampaikan Nihayatul dalam audiensi dengan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024). Menurutnya, reformasi struktural dalam sistem kesehatan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas revisi regulasi spesifik seperti UU BPJS. Ia menekankan bahwa setiap undang-undang yang dirancang atau direvisi harus benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, terutama untuk menciptakan sistem jaminan kesehatan yang berkualitas dan berkeadilan.
Politisi Fraksi PKB ini menambahkan bahwa prioritas DPR saat ini adalah memperkuat dasar hukum Sistem Jaminan Sosial Kesehatan (SJSK) agar pelayanan kesehatan dapat lebih merata dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan upaya legislatif untuk mengatasi tantangan ketimpangan layanan kesehatan di berbagai daerah.
Meskipun revisi UU BPJS belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka pendek 2024-2025, Nihayatul menegaskan bahwa pembahasan regulasi tersebut tetap penting. Menurutnya, keputusan untuk menunda revisi UU BPJS bukan berarti mengabaikan isu tersebut, melainkan memastikan kesiapan dari segi data, masukan masyarakat, dan analisis kebijakan sebelum langkah konkret diambil.
Ia juga menekankan bahwa revisi UU BPJS membutuhkan koordinasi erat dengan kementerian terkait serta partisipasi aktif dari masyarakat. Proses panjang ini mencakup harmonisasi antarinstansi dan pelibatan publik untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan relevan dan berdampak positif. Nihayatul mengajak berbagai organisasi masyarakat, tenaga kerja migran, dan pemangku kepentingan lainnya untuk aktif menyampaikan aspirasi melalui audiensi dengan fraksi-fraksi di DPR.
Selain fokus pada revisi UU BPJS, DPR RI berencana untuk memulai pembahasan undang-undang yang terkait dengan SJSK sebagai fondasi peningkatan layanan kesehatan nasional pada tahun mendatang. Nihayatul berharap langkah ini menjadi tonggak penting dalam membangun sistem kesehatan yang inklusif, efisien, dan berkeadilan, sehingga layanan kesehatan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat sebagai hak dasar.
Dalam audiensi tersebut, pendiri CISDI, Diah S. Saminarsih, juga menyampaikan sejumlah catatan terkait Prolegnas 2025-2029 di bidang kesehatan. Ia menyoroti pentingnya revisi UU BPJS, RUU Kesehatan Masyarakat, dan RUU Komoditas Strategis. Secara khusus, Diah menekankan bahwa revisi UU BPJS harus memastikan otonomi dan independensi BPJS Kesehatan melalui pembagian peran yang jelas antara penyedia layanan (provider), pembeli strategis (strategic purchaser), dan regulator.
Diah juga mengusulkan penguatan regulasi yang berorientasi pada kualitas layanan kesehatan. Baginya, revisi tugas dan wewenang BPJS menjadi langkah krusial untuk meningkatkan kualitas layanan. Ia berharap agar reformasi ini dapat memberikan dampak signifikan dalam memperbaiki akses dan mutu layanan kesehatan di Indonesia.
Menutup pembahasannya, Nihayatul mendorong pemerintah untuk serius menghadapi tantangan di sektor kesehatan. Dengan pendekatan yang terencana dan kolaboratif, reformasi sistem jaminan sosial diharapkan mampu membawa perubahan nyata dalam akses dan kualitas layanan kesehatan, sehingga Indonesia dapat bergerak menuju masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan di bidang kesehatan. (ums/aha)